euforia global warming

on Jumat, 16 Mei 2008

Perhelatan akbar konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perubahan iklim segera digelar di Bali. Tak kurang 180 negara akan bergabung dengan konferensi penting ini. Semua sepakat bahwa pemanasan global (global warming) merupakan fenomena alam menakutkan bagi bumi ini. Jika pemasanan bumi ini tidak dikurangi, maka ketakutan itu akan menjadi kenyataan. Maka datanglah kerusakan bumi yang maha dasyatnya. Suhu udara semakin panas, air laut akan naik, banjir terjadi di mana-mana, penyakit bertebaran, dan bencana lainnya akan menghampiri umat manusia karena kelalaian dan kecerobohannya. Ketakutan itu tentunya membayangi semua negara di dunia termasuk Indonesia. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengindikasikan, antara tahun 1970 hingga 2004, di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2 derajat celcius hingga 1 derajat celcius. Padahal bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global sebesar 1,5 derajat celcius hingga 2,5 derajat celcius, sebanyak 20 persen hingga 30 persen spesies tanaman dan hewan mungkin akan punah dan produktivitas pertanian di daerah tropis diperkirakan akan mengalami penurunan. Hal ini akan meningkatkan risiko bencana kelaparan. Untuk itu, momentum konferensi yang akan diselenggarakan di Pulau Dewata pada tanggal 3-11 Desember ini merupakan momentum tepat untuk mencegah pemanasan global.

Latah perubahan iklim
KTT perubahan iklim di Indonesia kali ini bukanlah sebuah hajatan untuk reunian para utusan dari ratusan negara di dunia tersebut. Acara ini juga bukan sebagai helatan yang hanya bisa dijadikan ajang perbincangan dan tukar pengetahuan mengenai isu global warming. Bagi Indonesia, tentunya tidak boleh sekadar senang dengan sukses penyelenggaraan. Yang lebih penting dari itu adalah sukses materi.

Belajar dari pertemuan sebelumnya yang menghasilkan Protokol Kyoto, kita melihat pertemuan ini masih sebatas berbentuk euforia. Amerika Serikat (AS) dan Australia, sebagai salah satu negara terbesar penghasil emisi karbon asih ogah-ogahan mengikuti prosedur ini. Sedangkan 160 negara lain telah menandatangani protokol yang menyetujui kawalan pencemaran alam sekitar dari aktivitasndustri. Karena itu sungguh ironis saat dunia menyaksikan Bush dan Howard bercakap tentang pemanasan global, tetapi tidak direalisasikan dengan tindakan dan amalan untuk mengurangi karbon dioksida. Padahal industri besar yang menghasilkan gas karbondioksida banyak didirikan oleh negara-negara maju tersebut.

Dalam sambutan pada pertemuan Informal Ministerial Meeting on Climate Change di Istana Bogor pada Oktober lalu, SBY bertekad bahwa KTT ke depan harus menghasilkan The Bali Road Map yang disepakati dan mengikat kepada semua negara. Kita berharap negara-negara maju tidak hanya latah dan ikut-ikutan menyuarakan perubahan iklim, akan tetapi mereka memang berniat baik untuk mematuhi setiap kesepakatan yang ada. Negara maju harus dengan segala upaya mengurangi dampak dari industrialisasi yang berlebihan. Dengan kekuatan uangnya diharapkan negara maju akan semakin aktif untuk membantu rehabilitasi hutan bagi negara miskin dan berkembang. Pertemuan kali ini harus memaksa negara maju untuk berperan aktif dalam menjaga keutuhan bumi. Pelanggaran yang terjadi harus diminimalisasi dengan pengawasan dan sanksi yang ketat. Sebagai ilustrasi, selama ini Amerika Serikat sangat serius berkampanye untuk mengawasi kegiatan nuklir Iran yang disinyalir akan mengancam keselamatan dunia, meski tanpa bukti yang meyakinkan. Sedangkan Amerika sendiri justru menolak menandatangani Protokol Kyoto, padahal kerusakan bumi akibat perubahan iklim lebih berbahaya daripada sekadar nuklir Iran. Beranikah ratusan negara lain di dunia ini memberikan peringatan kepada Amerika? Tentunya jawaban ini akan dibuktikan pada KTT nanti.

Bahan introspeksi
Seluruh mata dunia sebentar lagi akan melihat Indonesia. Sebagai negara yang memiliki hutan terbesar di dunia, gerak-gerik Indonesia akan membuat perhatian negara lainnya. Tentunya KTT kali ini juga dijadikan introspeksi bagi Indonesia dalam berperan menyelamatkan dunia. Dari tutupan hutan Indonesia seluas 130 juta hektare, menurut World Reseach Institute (sebuah lembaga think tank di Amerika Serikat), 72 persen hutan asli Indonesia telah hilang. Berarti hutan Indonesia tinggal 28 persen. Data Departemen Kehutanan sendiri mengungkapan 30 juta hektare hutan di Indonesia telah rusak parah. Itu berarti 25 persen rusak parah. Ini akan menjadi ironis sekali ketika kita berjuang habis-habisan di KTT nanti, akan tetapi kita belum mampu memberi contoh dalam area dalam negeri.

Bahkan Malaysia benar-benar kesal dengan gangguan asap yang disebabkan terbakarnya hutan di Indonesia. Negeri jiran itu mendesak Indonesia meratifikasi kesepakatan yang isinya memungkinkan negara-negara ASEAN meminta pertanggungjawaban atas bencana asap tersebut. Hingga kini, dari sepuluh anggota ASEAN, hanya Indonesia yang belum meratifikasi kesepakatan ASEAN untuk masalah polusi asap lintas negara itu. Sementara anggota yang lain telah melakukannya sejak 2002.

Kita berharap tekad SBY tidak akan berbuah simalaka. Kita baru-baru ini sempat tercengang dengan lolosnya Adelin Lis yang merupakan tokoh pembalakan liar. Pada sekitar tahun 2006 kita juga dibuat bingung dengan dibebaskannya 18 cukong pelaku pembalakan liar terbanyak di wilayah Papua. Sebanyak 14 kasus di wilayah ini pelakunya bebas murni, sedangkan 13 kasus lainnya hanya dijatuhi hukuman tujuh bulan hingga 2 tahun penjara. Ternyata kita sendiri belum mampu menegakkan hukum dalam mendukung pencegahan perubahan iklim di negeri sendiri. Padahal mereka merupakan residivis yang patut dihukum berat karena telah mengancam nyawa jutaan manusia di dunia. Tetapi, sekali lagi, mafia peradilan Indonesia juga tidak berdaya menghukum mereka.

Pemerintah harus proaktif untuk mengatasi kerusakan hutan dan lingkungan. Bukan hanya lewat kampanye dan simbol, upaya ini juga harus dijalankan melalui peraturan tegas yang disertai dengan hukuman bagi para perusak bumi ini. Langkah ini akan menjadi teladan utama untuk memulai kampanye mengurangi dampak perubahan iklim.

Sebagai warga negara yang baik kita akan menyambut keteladanan tersebut yang seterusnya akan dicontoh dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Kita akan takut untuk merusak hutan sembarangan yang hanya digunakan untuk kepentingan sesaat. Penghargaan yang tinggi terhadap bumi harus dijadikan budaya yang melekat pada setiap masyarakat. Perpaduan kekuatan pemerintah, LSM, organisasi masa, dan rakyat harus bahu-membahu untuk menyelamatkan bumi Indonesia dari kerusakan. Sekali lagi, kita akan menyambut KTT ini dengan rasa penuh percaya diri, karena kita telah memberikan contoh dan keteladan dalam penyelamatan bumi, bukan hanya berkampanye atau larut dalam euforia.

Ikhtisar
- Isu global warming telah menjadi kajian semua masyarakat dunia belakangan ini.
- Dengan latah, negara-negara maju juga ikut membincangkannya sambil mereka terus berlomba menciptakan emosi gas karbon secara besar-besaran.
- Konferensi tingkat tinggi mengenai perubahan cuaca yang akan digelar di Bali pada Desember mendatang, harus membawa dampak yang penting bagi penyelesaian masalah tersebut.

0 komentar: