GREEN TRANSPORT DI TENGAH GLOBAL WARMING ERA

on Selasa, 25 Mei 2010

Peningkatan pengguna kendaraan terjadi di kota-kota besar di Indonesia secara signifikan. Kota Jakarta misalnya, jumlah kendaraan roda duanya mencapai empat juta kendaraan dan kota Yogyakarta mencapai 1,1 juta unit kendaraan. Hal yang sama pun terjadi untuk kota-kota lain seperti Bandung, Surabaya, Medan, dll. Kepadatan transportasi ini menyebabkan berbagai dampak dan efek yang lebih luas, tidak hanya lingkup lokal dan nasional saja, tetapi juga efek global mendunia, global warming.

Global warming merupakan hal yang selalu menarik untuk dikaji. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor merupakan salah satu kontributor terbesar dalam pemicu global warming. Mengapa? Semakin besar jumlah pengguna kendaraan bermotor, maka semakin besar pula karbondioksida yang dihasilkan oleh asap kendaraan bermotor tersebut. Asap kendaraan yang dibuang ke udara tidak saja menimbulkan polusi udara di daerah sekitarnya tetapi juga berefek pada menepisnya lapisan ozon.
Sejak perang dunia II jumlah kendaraan bermotor di dunia bertambah dari 40 juta menjadi 680 juta. Misalnya saja kendaraan bermotor yang mengkonsumsi bahan bakar sebanyak 7,8 liter per 100 km dan menempuh jarak 16.000 km, maka setiap tahunnya akan mengemisi 3 juta ton karbondioksida ke udara. Bayangkan jika jumlah kendaraan bermotor di Jakarta lebih dari empat juta. Berapa emisi karbondioksida setiap tahunnya?

Transportasi bagi umat manusia pun merupakan sebuah dilema. Di satu sisi kita dihadapkan pada kebutuhan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kendaraan bermotor senantiasa menjadi pilihan karena lebih cepat dan efektif sebagai sarananya. Di sisi lain, kita juga dihadapkan pada kondisi dimana harus segera dilakukan pengubahan pola hidup, yaitu meminimalisir bahkan menghilangkan aktivitas-aktivitas yang berefek pada global warming. Tiada pilihan selain meminimalisir bahkan bisa sampai pada meniadakan penggunaan kendaraan bermotor dalam kehidupan manusia.
Apa yang bisa dilakukan? Ada solusi jalan tengah melihat dilema manusia diatas. Dengan tetap menggunakan kendaraan bermotor sebagai sarana kebutuhan perpindahan manusia. Akan tetapi, tidak bisa jika tetap menggunakan kendaraan bermotor seperti yang ada sekarang. Ide green transport muncul sebagai jawaban atas masalah ini, yaitu menggunakan kendaraan yang lebih ramah lingkungan.
Sarana transportasi yang dikembangkan untuk mengurangi dampak lingkungan akibat transportasi seperti polusi udara umumnya mengarah pada penggunaan kendaraan tidak bermotor maupun penggunaan bahan bakar terbarukan seperti sinar matahari, listrik dll. Namun, untuk saat ini, kendaraan berbahan bakar energi alternatif tersebut masih sedikit dan harganya pun mahal sehingga hanya bisa dijangkau oleh kalangan tertentu. Dengan demikian, green transport masih terhambat penerapannya baik dari sisi teknologinya dan karena harganya yang masih di atas rata-rata.

Sebagai mahasiswa yang identik dengan julukan kaum terpelajar, adalah menjadi PR kita untuk concern dengan hal-hal yang memengaruhi kehidupan manusia untuk masa akan datang. Sebab mahasiswalah sang ilmuan dan teknolog masa depan. Di tangan mahasiswa lahir berbagai produk yang bermanfaat untuk kehidupan manusia, termasuk sarana transportasi. Mahasiswa diharapkan mampu menciptakan berbagai teknologi yang melahirkan berbagai produk kendaraan ramah lingkungan (green transport).
Banyak hal yang bisa dilakukan mulai dari sekarang. Mahasiswa-mahasiswa yang memiliki idealisme sama dapat membentuk komunitas-komunitas yang concern terhadap pentingnya kendaraan ramah lingkungan ini. Melalui komunitas tersebut, dengan bekal ilmu yang diperoleh dari perkuliahan, dapat dilakukan riset-riset sederhana dengan memberikan alternatif-alternatif transportasi yang ramah lingkungan. Bahkan, dari tangan mahasiswa bisa lahir produk kendaraan yang ramah lingkungan tersebut, seperti yang dilakukan Tim Semart (Shell Eco Marathon Gadjah Mada Racing Team) yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswa UGM yang berhasil membuat mobil ramah lingkungan dan hemat bahan bakar (dinamakan mobil Semar) pada bulan Maret 2010 lalu. Dengan demikian, adalah hal yang memungkinkan sekali kiranya untuk diciptakan berbagai produk lainnya, yang bisa jadi lebih ramah lingkungan.

Dengan bekal idealisme yang telah ditanam kuat ketika masih berstatus sebagai mahasiswa terkait urgensi global warming ini, kedepannya ketika telah menjadi ilmuan, akan diciptakan berbagai produk green transport yang selain memiliki teknologi maju, harganya pun dapat dijangkau khalayak ramai. Oleh karena itu, mahasiswa dewasa ini hendaklah senantiasa menguatkan idealismenya, khususnya terkait urgensi green transport di tengah global warming era ini, dan yang lebih penting juga adalah kompeten terhadap bidangnya masing-masing sehingga kemudian mampu berkontribusi banyak atas masalah global yang dihadapi bersama ini.

Transportasi masa depan diharapkan bukan hanya transportasi yang bertujuan untuk memindahkan orang dan barang dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat, aman, dan nyaman saja. Akan tetapi transportasi yang lebih hijau, lebih peduli terhadap lingkungan.

Go green by green transport.

memaknai zero waste

on Minggu, 14 Februari 2010


Sejenak setelah silaturrahim dengan Rektor UGM beberapa hari yang lalu(Rabu, 10 Februari 2010), tersentak diri ini akan salah quote yang diucapkan beliau, “zero waste”, yang mungkin merupkan suatu istilah baru bagi sebagian orang, dan istilah sama yang saya dengar beberapa waktu yang lalu pada saat mengikuti final community development competition (CDC) di ITB Fair Bandung, beberapa hari sebelumnya.
Saat itu Pak Jar memaknai “zero waste” sebagai bentuk aktifitas yang benar-benar bermanfaat. Namun, kali ini saya tidak akan mengajak berdiskusi sebagaimana zero waste yang dimaknai oleh Pak Rektor tsb, tetapi mencoba menyampaikan ke teman-teman untuk memaknai zero waste benar2-benar dari segi harfiahnya, “tidak ada sisa(sampah)” yang kemudian akan berkaitan dengan kelingkunganan.

Berbicara tentang climate change dan global warming adalah sesuatu yang tidak perlu dijelaskan lagi akan urgensinya saat ini, hampir semua orang memahami betapa kritisnya nasib bumi ini terkait perubahan iklim yang terjadi. Hal-hal besar telah banyak dilakukan oleh para petinggi negara di dunia untuk menyikapinya. Trus, bagi kita yang belum jadi apa-apa secara kekuasaan bukan berarti tidak bisa bertindak apa-apa.

Zero waste, dengan prinsip ini merupakan salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk menjaga pelestarian lingkungan ini (environmental sustainable development). Dengan keseharian yang dimulai dari diri pribadi untuk senantiasa meminimalisir jumlah sampah yang dihasilkan, usahakan dalam aktivitas keseharian kita tidak ada sisa, zero waste.

Aplikasi sederhana, etika makan. Bukan zamannya lagi makan ada sisanya, harus dihabiskan, karena tidak mungkin ada orang yang mau memakan sisa makanan kita itu. Pastikan bahwa setiap bagian makanan yang bisa dimakan termakan habis, tanpa sisa.
Zero waste pada aspek etika makan ini memberi efek pada banyak hal:
- Environmentmakan tanpa sisa mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan. Karena berbicara tentang global warming salah satunya berkaitan dengan bagaimana usaha kita tidak sekedar membuang sampah pada tempatnya, tetapi juga meminimalisir jumlah sampah yang dihasilkan
- Economymakan tanpa sisa, berarti secara tidak langsung usaha kita melakukan efisiensi atas makanan, karena untuk mendapatkan makanan dibutuhkan biaya, dalam hal ini jika makanan yang dimakan bisa optimal pemnfaatannya berarti juga telah terjadi efsiensi atas biaya itu sendiri. Prinsip hidup zero waste, tidak mubadzir, dan tidak boros, jelas-jelas berefek pada perekonomian baik secara pribadi maupun masyarakat
- Social  berkaitan dengan karakter hidup seseorang, zero waste berarti dirinya terhindar dari sikap boros dan mubadzir. Efek sosial juga timbul sebagai akibat efek dari lingkungan yang terjaga dan perekonomian masyarakat itu sendiri
Di tengah isu2 hangat tentang korupsi, bank century, dan evaluasi 100 hari SBY, tema lingkungan masih menjadi hal yang layak untuk dibicarakan dan didiskusikan bersama.

Kalaulah boleh bercermin pada negara-negara maju di luar negeri, terlihat bagaimana usaha mereka untuk menjaga kelestarian lingkungan, dengan tidak tersedianya plastik kresek di super market misalnya.
Sekecil apapun itu, yakinlah bahwa kontribusi yang anda lakukan berdampak pada kehidupan secara global

Hikmah Pagi Ini

on Minggu, 31 Januari 2010

Dalam menjalankan kehidupan seharian kita, sering kali kita terlupa, bahwa ternyata disekitar kita, di setiap langkah kaki, setiap tempat yang terlewati, mengandung hikmah yang tiada nilai harganya. Banyak kita yang masih terjebak untuk melihat hal-hal yang besar saja, pada hal sesungguhnya pada sesuatu yang kecil itu terdapat makna yang jauh lebih besar.

Cobalah untuk sedikit peduli dan perhatian atas apa-apa yang terjadi di sekitar. Pun sekedar daun yang bergoyang, perhatikan dengan seksama, pasti ada saja hikmah yang dapat dipetik dari sana. Apalagi kalau itu berkaitan dengan interaksi sesama manusia, tentunya ada makna dan hikmah yang jauh lebih besar yang akan diperoleh. Benarlah pepatah minang mengatakan, alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru).
Sedikit tercenung atas apa-apa tausyiah yang di dapat saat KIP pagi ini, bahwa perubahan yang luar biasa dan signifikan dimulai dengan hal-hal yang sederhana. Kemenanagan besar yang diperoleh didahului dengan kemenangan-kemenangan kecil yang mendahuluinya. 1000 langkah perjalanan tidak akan pernah kesampaian ketika tidak ada langkah pertama yang mengawalinya. Benar juga apa-apa yang dikatakan Aa Gym, dengan rumus 3 M untuk perubahan. Mulai dari yang kecil-kecil, mulai dari diri sendiri, mulai sedari saat ini juga.

Ya Allah, aku tahu ini sulit, tapi pasti bisa. Bantulah hambaMu ini menjalani semua, meraih kemenangan-kemenagan kecil untuk meraih kesuksesan yang jauh lebih besar.

Urgensi Bina’ul Baiti Muslim

on Sabtu, 30 Januari 2010

Bina’ul Baiti Muslim atau membina keluarga muslim merupakan salah satu rangkaian marotibul amal dalam perspektif Hasan Al Bana, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimun, lebih tepatnya pada tahap kedua dari tujuh tahapan amal yang dilewati.
Ketika berbicara tentang dakwah, aspek pembentukan keluarga muslim adalah hal penting untuk diperhatikan, karena keluargalah lingkup terkecil dalam kehidupan masyarakat, dari keluargalah yang kemudian bisa dicapai cita-cita dakwah yang lebbih tinggi berikutnya. Wajar saja, jika kelurga adalah aspek yang pertama kali harus diselesaikan setelah seorang muslim itu menjadi shaleh secara pribadi.
Ketika berbicara tentang dakwah Rasulullah, ketika akan menemukan bahwa beliau pun mengembangkan sayap dakwahnya dari keluarga terdekat terlebih dahulu, kemudian baru berkembang ke masyarakat luas, hingga akhirnya kita temukan dakwah berkembang hingga lintas negara.
Sejatinya, dari keluargalah dakwah dan tarbiyah itu paling masif dan paling efektif, relatif jika dibandingkan pengajian-pengajian masyarakat. Pengontrolan bisa dilakukan tiap hari dan tiap saat, dan keterikatan pun menjadi lebih tinggi karena bernaung atas nama dalam satu keluarga. Tidak akan mungkin bisa terbentuk masyarakat yang muslim, jika keluarga tidak ada yang sakinah. Keluarga-keluarga yang baik dan shaleh/ah akan berkumpul menjadi masyarakat yang shaleh/ah. Dan dari masyarakat ini kemudian akan terbentuk negara yang madani, yang islam secara kaffah.
Kemudian, keluarga merupakan basis kaderisasi manusia-manusia hebat dan shaleh. Hanya keluarga yang bertaqwa kemungkinan besar yang senantiasa melahirkan generasi-generasi rabbani. Melalui keluargalah dibentuk mujahid dan mujahidah baru. Kalau kita melihat gerakan dakwah Palestina, dimana salah satu hal yang menakutkan bagi Israel adalah pertumbuhan warga Palestina yang begitu luar biasanya, mati satu, tumbuh seribu. Karena didikan keluarga yang shaleh, lahirlah mujahid-mujahid yang siap membela agamanya dari cengkraman kaum Yahudi laknatullah.
Jadi, adalah hal yang mutlaklah kiranya pembinaan keislaman dalam keluarga dilakukan, sebelum kita berbicara lebih jauh tentang dakwah pada cakupan yang lebih luas.(mza)